Rabu, 18 Januari 2012

Aliran Iluminasionis (Isyrâqiyah )

filsafat aliran iluminasi


Aliran Iluminasionis
(Isyrâqiyah )





Aliran Iluminasionis (Isyrâqi) ini didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-Maqtul (w.1191). Dikatakan al-Maqtul, karena ia dijatuhi hukuman mati oleh Sulthan Shalah al-Din al-Ayyubi, dari Mesir, atas pengaduan para ulama Suriah dan tuduhan –karena rasa iri mereka terhadapnya—bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat. Teman sekelas Fakhr al-Razi ini telah melakukan perjalanan yang panjang dari kampung halamannya Suhrawardi, dekat Teheran, ke seluruh pelosok Timur Tengah, tetapi pada akhirnya tinggal di Allepo, sebagai guru bagi Malik Al-Zhahir, putra Al-Ayyubi.


Walau meninggakl dalam usia yg relatif muda, yaitu 35 tahun, namun ia telah menyusun beberapa karya yang signikan, seperti Kitab Al-Masy’ari wa Al-Mutharahat; Al-Talwîhat dan Al-Muqawwamât. Tetapi yang paling besar, berpengaruh dan orisinal adalah Hikmah Al-Isyrâq, yang telah telah menjadi kitab utama, di atas mana filsafat Isyraqî dibangun. Kitab ini telah mendapat banyak komentar dari murid-muridnya, seperti Al-Sahrazuri dan Quthb Al-Din Al-Syirazi, atau simpatisannya seperti Ibn Kammunah, seorang filosof Yahudi.


Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat Iluminasi tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologis dan kosmologis. Marilah kita mulai dengan metode berpikir iluminasionis. Berbeda dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berpikir dan pencarian kebenaran, filsafat iluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (‘irfan), sebagai pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensintesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘irfanî dalam sistem pemikiran yang solid dan holistik.


Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran ke dalam tiga kelompok: (1) Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam –seperti para sufi—tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengunkapkan pengalamannya itu secara diskursif; (2) mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik sangat penting untuk mengenal secara langsung realitas sejati, sehingga tidak hanya bersandar pada otoritas masa lalu saja, seperti yang dapat ditemukan pada para filososf peripatetik, dan (3) atau terakhir, adalah mereka yang di samping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif, seperti yang terjadi pada diri Plato, di masa lampau, dan dirinya (baca: Suhrawardi) pada masanya.


Pengalaman mistik adalah pengalaman langsung melihat realitas sejati, karena dalam pengalaman mistik seperti itu ”objek” penelitian telah ”hadir” pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut “ilmu hudhuri” (knowledge by presence) yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli” (acquired knowledge) di mana objek penelitian diperoleh tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah representasi, baik itu berupa simbol atau konsep.


Arti penting pengalaman mistik bagi pencarian kebenaran adalah bahwa melalui pengalaman tersebut seseorang (filosof atau sufi) dapat secara langung menyaksikan kebenaran sejati (Al-Haqq), yang tidak bisa diperoleh dengan cara yang aman melalui pendekatan apapun, indera atau akal. Kalau tidak, maka filsafat mereka akan dipenuhi oleh ungkapan-ungkapan syathahat yang tidak bisa diakses. Bahkan menurut, sahabat saya, Dr. Haidar Bagir, kemampuan untuk mengungkap pengalaman mistik tersebut, dengan kata lain, pengalaman mistik harus diuji kebenarannya justru lewat bahasa diskursif. Ketika ditanya oleh muridnya apakah buku Hikmah Al-‘Israq ini adalah karya mistik atau filsafat, Suhrawardi menjawab bahwa Hikmah Al-‘Isyraq adalah kitab filsafat yang didasarkan pada pengalaman mistik. Inilah yang menurut penulis merupakan sintesis yang brilian dari seorang Suhrawardi.


Marilah kita beralih sekarang pada aspek ontologis aliran iluminasionis, yang diwakili oleh konsep metafisika cahaya, yang merupakan ciri khas lainnya dari aliran ini. Di atas pernah disinggung bahwa sebagian filosof pernah mengibaratkan Tuhan sebagai matahari dan alam sinarnya. Suhrawardi, adalah seorang filosof Muslim yang menurut saya, paling maksimal memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya. Baginya Tuhan adalah Cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya (Nûr Al-Anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar.


Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi hanya cahaya yang meiliki wujud yang positif, sedangkan kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif. Ia ada hanya sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya. Ketika cahaya datang, maka kegelapan sirna. Bagi Suhrawardi benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas (clear cut) seperti yang dibayangkan kaum Peripatetik. Yang membedakan satu benda lainnya hanyalah intensitas cahaya yang dimilikinya. Semakin banyak kandungan cahayanya, maka semakin tinggi derajatnya. Hewan dan manusia, misalnya, tidak dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia memiliki cahaya yang lebih dibanding hewan.


Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup fundamental –sekalipun tidak terlalu jelas—atas prinsip hylomorfis, karena sementara bagi hylomorfisme bentuk-bentuk benda bersifat relatif. Bagi yang terakhir sesuatu bisa dilihat secara relatif “lebih atau kurang” (more or less) da tidak dibagi secara kategorik ke dalam substansi-substansi yang tetap (fixed).
Selain kritik terhadap filsafat atau prinsip atau prinsip hylomorfisnya peripatetik, filsafat iluminasionis juga memberikan kritik yang tajam atas prinsipialitas wujud, seperti yang diyakini Ibn Sina. Sementara bagi Ibn Sina – dan dikemudian hari Mulla Sadra, wujud adalah yang real, yang fundamental, sementara bagi Suhrawardi esensi (mahiyah)-lah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistik dengan realitas. Sebagai pengikut Plato yang percaya bahwa esensilah yang sejati, sedangkan wujud hanyalah abstraksi subyektif manusia saja.


Dengan demikian, filsafat Suhrawardi dikenal sebagai eksistensialisme, yang dipertentangkan dengan eksistensialisme ala Sadra, yang akan kita jelaskan nanti. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Suhrawardi esensilah yang lebih prinsipil dan eksistensi (wujud), sebuah ajaran yang sering disebut ishalât al-mahiyyah atau prinsipialitas esensi, sebagai lawan dari ishalât al-wujûd, yang menyatakan bahwa wujudlah yang prinsipil, yang lebih fundamental, sedangkan esensi hanyalah persepsi mental saja.


Untuk menguatkan argumennya tentang ketidaknyataan eksistensi, Suhrawardi bertanya kepada kaum eksistensialis, apa yang anda maksud dengan wujud, ia menyatakan bahwa apa yang dipahaminya tentang wujud tersebut pada hakikatnya bukanlah wujud itu sendiri. Dengan itu Suhrawardi ingin menyatakan bahwa pada akhirnya yang nyata adalah esensi bukan wujud, sekalipun kita sedang berbicara tentang wujud (eksistensi).


Ciri khas ketiga dari aliran iluminasionis bisa dilihat dari ajaran kosmologis mereka, berupa teori emanasi, namun lebih ekstensif dari teori emanasi kaum Peripatetik. Seperti halnya kaum Peripatetik, Suhrawardi juga percaya bahwa alam semesta memancar dari Tuhan. Hanya saja dalam teori emanasi Suhrawardi, kita menjumpai bukan hanya istilah-istilah yang berbeda, tetapi juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Tidak seperti Ibn Sina, yang menyebut Tuhan dengan Wâjib al-Wujûd (Wujud Niscaya/Senantiasa Aktual), Suhrawardi menyebut-Nya Nûr al-Anwâr (Cahaya dari segala cahaya), kalau dilihat dari sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya yan lainnya, dan al-Ghani (Yang Independen) dilihat dari kemandiriaan-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakîr (berbanding dengan mumkîn al-wujûd-nya Ibn Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan.


Selain perbedaan istilah, teori emanasi Iluminasionis juga berbeda dalam sturukturnya. Kalau dalam skema kosmik Aristoteles/Peripatetik, alam semesta dibagi ke dalam dua bagian: langit dan dunia bawah bulan (bumi), maka dalam skema kosmik imuminasionis, di atas langit tadi ditambah lagi satu wilayah dunia spiritual murni, yang disebut Timur (Orient/Masriq). Sedangkan langit dan bumi disebut Barat (Occident/Magrib) dimana langit disebut Bumi dengan Barat (Occident), di mana langit disebut Barat Tengah (Middle Occident) dan bumi dengan Barat (Occident) saja. Dengan demikian kosmos Suhrawardi lebih uas dan tinggi (lihat bagan terlampir).


Di Dunia Timur, hanya ada entitas-entitas murni (kadang disebut cahaya atau malaikat), yang tidak bercampurnya cahaya dan kegelapan (seperti disimbolkan/dimanifestasikan dalam bintang-bintang dan matahari) yang mengisi langit-langit kita. Ada pun dunia Barat , baginya adalah dunia kegelapan, berupa benda-benda material, yang menjadi gelap karena jauhnya dari Cahaya Ilahi.


Selain karakteristik di atas, struktur emanasi Peripatetik, karena Suhrawardi membagi cahaya yang memancar dari Tuhan ke dalam dua jenis, cahaya yang bersifat vertikal (thuli), yang memancar dari Tuhan secara vertikal melalui serangkain cahaya yang merentangkan dari cahaya yang merentang dari cahaya pertama (al-nur al-aqrab) hingga dunia Barat Tengah.


Dalam teori emanasi Iluminasionis ini dikenal gradasi cahaya dilihat ari intensitasnya, yang disebabkan oleh hadirnya barzakh-barzakh (barazikh) yang menyekat di antara dua cahaya: cahaya ada di bawahnya. Demikian seterusnya, adapun hubungan cahaya yang di atas dan cahaya yang di bawahnya diatur dengan prinsip dominasi (al-Qahr), sedangkan hubungan dari cahaya yang ada di bawah terhadap yang di atasnya diatur melalui prinsip cinta (mahabbah). Tetapi yang lebih khas lagi dari teori emanasi (hierarki wujud) Suhrawardi adlah munculnya cahaya yang bersifat horizontal (’ardhi), yang tidak muncul secara langsung dari Tuhan, tetapi dari cahaya-cahaya vertikal.


Cahaya-cahaya dalam tatanan horizontal ini disebut Arbab a -Ashnam, yakni semacam prototope bagi makhluk apa pun yang ada di alam fisik. Oleh karena itu, ia mirip sekali dengan ide Platonik, yang merupakan prototipe bagi apa pun yang ada di dunia, yang bertindak sebagai bayang-bayang bagi apa pun yang ada di alam ide.


Satu lagi tatanan cahaya yang bersifat horizontal, yaitu yang disebut dengan al-Anwar al-Mudabbirâh (Cahaya-Cahaya yang dominan). Cahaya-Cahaya yang dominan ini dalam kaitannya daengan benda-benda di bawahnya adalah sebagai daya-daya yang memiliki pengaruh besar terhadap segala makhluk yang ada di bawah pengaruhnya. Ada malaikat/daya-daya yang menjaga tumbuh-tumbuhan, mineral, hewan, dan lain-lain, ada juga daya-daya (malaikat/cahaya) yang mengatur manusia dan daya-daya yang menggerakkan benda-benda langit.


Terakhir, selain berbeda dalam istilah dan struktur kosmik, emanasi Suhrawardi juga berbeda dari emanasi Peripatetik dari sudut jumlah, yakni jumlah akal-akal atau malaikat-malaikat yang muncul dalam bagan teori emanasinya. Kalau teori emanasi Peripatetik Muslim, hanya memiliki 10 akal, maka bagan teori emanasi Suhrawardi memiliki jumlah akal yang tak terbatas. Alasannya adalah karena benda-benda angkasa termasuk planet-planet tidak terbatas pada sepuluh, tetapi ratusan bahkan ribuan. Nah, karena setiap benda angkasa tersebut membutuhkan sebuah murajjih (sufficient reasons) untuk keberadaaannya, maka akal-akal itu tidak bisa dibatasi pada 10 tetapi berbanding dengan jumlah benda-benda angkasa tersebut., yang karena banyaknya tidak mungkin hanya dibatasi pada agka 10. Inilah karakteristik teori emanasi iluminasionis, yan sekaligus merupakan kritik dan perbaikan atas teori emanasi sebelumnya. [ ]

0 komentar:

Posting Komentar

MIM. Diberdayakan oleh Blogger.
MIMYERA © 2008 Template by:
SkinCorner