Senin, 09 Januari 2012

RASIONALISME DALAM TEOLOGI ISLAM: TELAAH KRITIS TERHADAP KALAM MU'TAZILAH

Pendahuluan
Makalah yang kami presetasikan sekarang ini, hanyalah usaha kecil dan ala kadarnya untuk mencoba memaparkan kembali satu episode sejarah kelam umat Islam. Dan usaha kecil ini pun dibenturkan dengan berbagai keterbatasan, sehingga “rekaman” sejarah yang ingin kami putar dari nol sampai masa sekarang, banyak mengalami kesulitan. Dan kesulitan ini pun kami rasakan ketika ingin menganalisa sekaligus mengkritisi fenomena yang ada sebagai imbas dari  “sejarah” tersebut.
Mu’tazilah adalah tema yang diangkat kali ini. Bagaimana peranan ideologi rasionalitas  ini dalam pentas sejarah perjalanan ummat Islam, sejauh mana peranan ideologi ini dalam menghantarkan ummat Islam ka dalam ruang sejarah yang kelam, apa bahaya yang di usungnya,  dan bagaimana peranan kita sebagai ummat Islam — yang  komitmen secara totalitas terhadap  pentunjuk Allah yang terlembagakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah– menyikapi, mengkritik sekaligus menggugat ideologi rasionalitas tersebut.
Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari keobjektifitasan dan kesempurnaan untuk memaparkan  semuanya, namun mudah-mudahan sedikit memberi  pijakan kepada ummat Islam untuk terus menerus memperbaiki sejarah dengan mengambil “ibrah” dari “kecelakaan sejarah”  yang terjadi dalam rentetan sejarah ummat Islam. 
A.    Definisi Mu’tazilah
1.      Secara Etimologi
Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala,  kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
فان اعتزلوكم فلم يقاتلوكم وأ لقوا اليكم السلم فما جعل الله لكم عليهم سبيلا  (النساء 90)
Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. 4:9)2
2.      Secara Terminologi Para Ulama
Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam Islam) yang muncul pada masa  akhir dinastii umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka  berpegang pada kekuatan rasionalitas an sich dalam memahami aqidah Islam (al-Aq‎‎îdah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filasafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nashrani.
Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus. 
B.     Perkembangannya.
Berbicara  tentang  awal mula sejarah Muitazilah, orang akan selalu merujuk pada episode diskusi Hasan al-Basri (w.110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema muslim yes, muslim no yang baru dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group) atau luar (out group). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban sebagai berikut:
Pertama, Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya (komunitas), alias menjadi “kafir”, dan karena itu—sesuai dengan hukum riddah—halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan khawarij.
Kedua, Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi umat Islam yang disebut sebagai kelompok murjiah.
Hasan al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus  menjaga keutuhan umat, berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas  seseorang  apakah  ada  “di dalam”  (minna)  atau  “di  luar” (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang   melawan   arus   tadi (bukan muslim dan bukan kafir),  dengan  nada  menyesal  Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I‘tazala’anna!. Kata i’tazala  (hengkang)  yang  jadi  sebutan  Mu’tazilah  (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:
Pertama, Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho’, Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu Hasyim Al Jubaa’i dan yang lain-lainnya. Kedua, Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, Ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid’ah, sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: “dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta keanehan dari yang masyhur”. 
C.     Sebab Penamaannya.
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama, penamaan mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqiedah ke-agamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah  qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tidak. Dan pengusung pemikiran ini menamai mu’tazilah dengan beberapa sebab : bahwasannya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manjilah    baina manjilataini (satu diantara dua tempat) dan Mereka menamai mu’tazilah setelah hengkangnyah Wasil bin atha dari halaqoh hasan Bashari dan membentuk halaqoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Bashari berkata “Wasil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan membaikotnya.
Kedua, penamaan mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana sekelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyah melepaskan jabatan (sebagai raja)
Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadli Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa mu’tazilah bukan madzhab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan shahabat-shahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah: واعتزلكم وما تدعون
D.    Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassarah fi’ladyân wa’lmadzâhib wa’lahzâb al-mu’âshirah” bahwa pada awalnya sekte mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
Pertama, pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut. Kedua, Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan—mu’min dan kafir—(manzilatun baina’lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini dijelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhîd, Mereka meyakini bahwa Allah disucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamitslihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang batil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.
(2) Al’adl (keadilan Allah), Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nyadengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali kepada yang diinginkan-Nya dan tidak melarang kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.
(3) Al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah), Maksud mereka dengan janji dan ancaman Allah adalah bahwa Allah akan memberi pahala atas kebaikan yang diperbuat manusia dan memberi balasan atas kejelekan yang dilakukannya, dan (secara mutlak) tidak akan mengampuni pendosa besar jika tidak bertobat. 
(4). Al-manzilatu baina’lmanzilataini, Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mu’min tidak juga kafir.
(5) Al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar, Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah Islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran
Ketiga, Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. 
E.     Titik Lemah Ideologi Mu’tazilah
Jika mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal. apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh al Quran, maka al Quran telah menyiapkan jawabannya. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 7 sebagai berikut:
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat di atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Quran: pertama, ayat-ayat yang muhkamât. Kedua, ayat-ayat yang mutasyâbihât . Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyâbihât dan mencari-cari ta’wilnya, padahal hanya Allah-lah yang mengetahui ta’wilnya.
 Lalu kalau kita melihat produk pemikiran mu’tazilah yang telah dipaparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyâbihât. Ambil saja contohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam al Quran) tidak menerangkannya secara detil (tafshîl). Lalu, dengan kecondongannya kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan yang sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalâm, bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasannya menggunkan akal, mereka pun menggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Quran yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Quran adalah makhluk Allah yang berperspektif lelah dan memiliki kekurangan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika mu’tazilah kita golongkan  ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah meyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al râskhûna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyâbihât, mereka berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Quran mengatakan bahwa orang yang berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dimanakan mu’tazilah berada jika bukan di golongan  (yang cenderung pada) kesesatan?
F.     Pemikiran Mu’tazilah zaman sekarang
Sangat Sulit Rasanya bila kita harus menjawab tuntas pertanyaan di atas, apakah ideolodi mu’tazilah akan tetap laku atau sebaliknya, mengingat,  di satu sisi ideologi rasioalitas Mu’tazilah  ditentang habis-habisan oleh mayoritas ummat Islam, seperti kita tahu dalam perjalanan kesejarahannya,  rasionalitas mu’tazilah selalu dilawan oleh golongan dari  al-Asy’ariyyah. Namun disisi lain banyak  sekali wacana pemikiran Islam yang mengusung ideologi rasionalitas tersebut.
Di samping fenomena di atas, adalah keterbatasan devisi kami dalam litelatur, analisa dan  wawasan yang menyebabkan tidak bisa memberi jawaban yang tuntas. Barangkali poin terakhir ini yang menarik untuk kita angkat dalam ruang diskusi mengingat, ragam peta pemikiran ke agamaan yang ada, khususnya di Indonesia adalah bukti masih bercokol kuatnya pengaruh ideologi rasionalitas Mu’tazilah dalam pemikiran Islam modern.
Terlepas dari itu,  kita sebagai ummat Islam yang menyerahkan diri secara totalitas, termasuk  dalam memberi porsi kepada akal. Islam melindungi dan memberi ruang kebebasan untuk berpikir, tapi yang menjadi persoalan  sejauh mana perlindungan dan kebebasan berpikir itu diberikan, apakah manusia boleh berpikir sebebas-bebasnya tanpa mengenal batas,  sehingga boleh memikirkan dunia yang bukan dunainya (makrokosmos), apakah manusia boleh memikirkan tentang dzat Allah, hari akhirat  dan merapkan paradigmanya pada dunia metafisika, sehingga ia terperosok pada kekeliruan seperti yang dialami para filisuf Yunani14.
Kesimpulan
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassarah fi’ladyân wa’lmadzâhib wa’lahzâb al-mu’âshirah” bahwa pada awalnya sekte mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu: pertama, pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut. Kedua, Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan mu’min dan kafir (manzilatun baina’lmanzilataini)
Enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi  lima dasar (ushûl) pemikiran yang menjadi trade mark mereka. Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhîd, al-‘adl (kedilan Allah), al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina’lmanzilataini, al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar.

Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0
Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdadi, al-farqu baina’lfirâq, maktabah dâr al-turâts, Kairo, tanpa tahun, hal. 44 dan 131
 filsafat Islam.www.pesantrenonline.com


0 komentar:

Posting Komentar

MIM. Diberdayakan oleh Blogger.
MIMYERA © 2008 Template by:
SkinCorner